Dalam setahun di Bali tercatat 18.582 kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Data tersebut merupakan data estimasi terakhir pada tahun 2006 yang dirangkum BKKBN Bali dari jumlah perempuan menikah yang tidak menggunakan KB dan jumlah kegagalan KB di Bali. 'Angka ini lebih kecil dari kenyataannya karena perhitungannya tidak termasuk remaja," ujar dr. Nyoman Mangku Karmaya, ahli kesehatan reproduksi, Jumat (20/2) kemarin.
Sementara itu, selama empat bulan (September-Desember 2008) tercatat 156 orang atau sekitar 90% pasien Kisara Youth Clinic (KYC) dengan kasus kehamilan tidak terduga. Sebagian besar membutuhkan akses aborsi yang aman karena 84% statusnya masih belum menikah, sisanya masih sekolah dan belum siap secara sosial dan ekonomi. 'Kebanyakan korban KTD menggunakan cara aborsi yang berbahaya seperti obat-obatan nonmedis,' ujar Mangku.
Penyelesaian KTD memang selalu mengarah ke aborsi. Namun stigma masyarakat dan budaya Indonesia yang tidak menerima tindakan aborsi akhirnya memicu seseorang yang menderita KTD melakukan aborsi sendiri yang jelas tidak aman. Tak heran angka kematian ibu di Indonesia tertinggi di Asia. Selain itu kebijakan prolife di Indonesia saat ini menolak akses aborsi yang aman karena meyakini janin sudah bisa berpikir, bahkan sejak pembuahan. 'Padahal pengguguran kandungan ada sejak dahulu untuk mengatur fertilitas. Jamu peluntur, nenas muda, tusukan bambu, dan alat lainnya untuk aborsi adalah kebudayaan di Indonesia dan sangat tidak aman,' ujar Mangku Karmaya.
Sementara itu, menurut dr. Citra Wulan Sucipta Putri, salah satu dokter di KYC, dari 156 kasus KTD yang ditangani KYC, sekitar 80% tidak bisa ditindaklanjuti lagi. Pihaknya mengaku dilematis menangani KTD karena aborsi aman belum ada aspek hukumnya. 'Untuk sementara ini kami hanya melakukan konseling dan memberikan pilihan-pilihan lain,' ujarnya
0 komentar:
Post a Comment